Мегаобучалка Главная | О нас | Обратная связь


Laporan wartawan Bondan Winarno



2016-09-17 390 Обсуждений (0)
Laporan wartawan Bondan Winarno 0.00 из 5.00 0 оценок




Minggu lalu saya mengikuti sebuah diskusi tentang rencana pelestarian dan pemanfaatan gedung Bank Indonesia di Yogyakarta. Gedung ini merupakan bangunan pusaka (heritage building), diresmikan 127 tahun yang lalu sebagai kantor De Javasche Bank. Kita tahu, di beberapa kota besar Indonesia, Bank Indonesia memiliki bangunan-bangunan pusaka peninggalan De Javasche Bank yang selama 125 tahun beroperasi di Nusantara. Sebagian besar bangunan itu masih terpelihara dengan baik. Yang di bagian Kota Tua Jakarta bahkan baru saja diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Museum Bank Indonesia.
Bangunan berarsitektur klasik milik Bank Indonesia di Yogyakarta ini terletak di Jalan Senopati – di ujung persimpangan dengan Jalan Malioboro. Masyarakat mengenal kawasan ini sebagai Titik Nol – yaitu titik yang dianggap pusat Kota Yogyakarta. Di kawasan ini ada beberapa bangunan pusaka lainnya, seperti Benteng Vredeburg, dan Gedung Agung (Istana Kepresidenan Republik Indonesia).
Kepedulian tentang bangunan pusaka – dan heritage pada umumnya – memang sedang naik daun, sekalipun itu semua belum sepenuhnya mencegah perusakan dan pemusnahan terhadap pusaka Indonesia yang luar biasa kaya. Contohnya, PTKI (PT Keretapi Indonesia), dalam reorganisasinya baru-baru ini menunjuk seorang direktur khusus untuk menangani heritage assets yang dimilikinya. Bank Indonesia pun tampaknya menuju ke arah sana. Dalam rencana pelestarian dan pemanfaatan bangunan pusakanya, BI juga merencanakan pembentukan Dewan Kurator untuk pengelolaan bangunan-bangunan pusaka miliknya.
Tentu saja, akan selalu muncul keinginan untuk membuat museum di bangunan-bangunan pusaka seperti itu. Bank Mandiri di Jakarta telah mengubah bangunan pusakanya di kawasan Kota Tua Jakarta. Demikian juga Bank Indonesia. Gedung pusaka Bank Indonesia di Padang pun sudah direvitalisasi menjadi museum.
Museum memang “godaan” yang paling menarik dan paling sesuai untuk memenuhi tujuan pelestarian. Tetapi, apakah pemanfaatannya akan optimum? Di seluruh Indonesia, kita sudah belajar dari pengalaman bahwa museum selalu merupakan cost center, bukan profit center. Bukankah museum-mindedness di kalangan warga bangsa kita juga masih rendah?
Pada diskusi itu saya mengemukakan, antara lain, sebuah contoh yang dilakukan oleh The Farmers and Mechanics Bank di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat. Lembaga bank-nya sendiri sudah tidak ada lagi, karena sudah lebur dalam lembaga bank lain yang lebih besar. Gedung klasik bank itu sudah beberapa kali berpindah tangan. Kini, gedung pusaka itu menjadi The Bank Restaurant – restoran fine-dining paling top di Minneapolis. Bangunannya utuh. Beberapa benda-benda antik bank di masa lalu dipakai sebagai elemen dekor yang membuat restoran ini sangat cantik dan anggun.
Saya mencatat satu butir pandangan peserta diskusi yang sangat berharga dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan gedung Bank Indonesia di Yogyakarta itu. Ia berpendapat agar dalam upaya memberi kemanfaatan ekonomis terhadap bangunan yang dilestarikan itu, tidak dilupakan pemikiran untuk juga melestarikan martabat bangunan itu. Seperti juga manusia, gedung pun memiliki dignity masing-masing – apalagi karena gedung ini dimiliki lembaga bermartabat seperti Bank Indonesia.
Pandangan seperti itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang hadir untuk membuka diskusi itu. “Kota harus mencerminkan wajah masyarakat yang plural,” kata Sri Sultan dalam sambutannya. “Dan Titik Nol Yogyakarta ini dalam pengembangannya harus mengacu pada visi untuk membuatnya sebagai The Cultural Quarter of Yogyakarta. Sejak dulu Titik Nol Yogyakarta memiliki citra dan karakter yang unik. Itu harus tetap dilestarikan,” tambah Sri Sultan.
Dalam sambutannya itu, Sri Sultan juga menekankan pentingnya meninjau kembali nilai-nilai luhur tata ruang dalam bahasa Jawa. Dalam budaya Jawa dikenal konsep Catur Sagotra atau Catur Gatra Tunggal – yaitu empat elemen dalam satu unit. Pusat kota ditandai dengan sebuah lapangan luas berbentuk segi empat yang disebut alun-alun. Di satu sisi alun-alun ada kraton (istana), di sisi-sisi lain ada masjid, pasar, dan penjara. Pada kota yang lebih kecil, kehadiran kraton sebagai tempat kedudukan raja diganti dengan kabupaten, atau kawedanan – sesuai dengan tingkatan kotanya.
“Dalam konsep Catur Sagotra ini, yang penting dimengerti adalah bahwa kraton terpadu dalam interaksi masyarakat kota secara langsung. Ruang publik langsung berada di depan kraton,” kata Sri Sultan. “Dan itulah yang membedakan kota-kota di Jawa dengan di Eropa atau Amerika, misalnya.”
Titik Nol Yogyakarta ini memang hanya “sepelemparan batu” dari alun-alun dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tidak heran bila Sri Sultan sangat berkepentingan dengan revitalisasi kawasan Titik Nol Yogyakarta ini. Kawasan ini – termasuk bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya – harus ramah (friendly) terhadap semua lapisan masyarakat, tetapi harus tetap memiliki martabat yang dijunjung tinggi. Ini merupakan point khusus yang perlu dipertimbangkan dalam pelestarian gedung pusaka Bank Indonesia di Yogyakarta itu. Hal yang sama juga berlaku dalam setiap inisiatif untuk melestarikan dan memanfaatkan bangunan-bangunan pusaka di seluruh Indonesia.
Pelestarian dan pemanfaatan harus bergandeng tangan. Hari gini, kalau pelestarian tidak dibarengi kemanfaatan ekonomis, pastilah upaya pelestarian akan ketinggalan kereta.
Dalam diskusi itu saya menyampaikan beberapa contoh pelestarian dan pemanfaatan bangunan pusaka di dunia. Misalnya, sebuah bangunan viaduk tua di Paris, membentang sepanjang 1,5 kilometer dari Place de la Bastille hingga Gare de Lyon, pernah nyaris diruntuhkan karena dianggap sebagai slilit kota. Tetapi, kemudian muncul pemikiran jenius untuk mengubah 70 lengkung penopang viaduk itu menjadi butik-butik dan toko-toko suvenir. Sekarang, tempat ini dikenal sebagai Viaduc des Arts – tempat yang populer di Paris sebagai tujuan wisata, baik untuk wisatawan mancanegara yang memerlukan suvenir, maupun untuk warga lokal yang memerlukan benda-benda seni untuk memercantik rumah mereka. Viaduc des Arts – kawasan yang semula kumuh – kini malah memberi matapencaharian bagi pengusaha kecil dan menengah.
Contoh lain, masih di Paris, adalah Quay de Bercy. Ini adalah sebuah kawasan tua di tepi Sungai Seine yang pada awal abad ke-19 merupakan pusat perdagangan wine terbesar di Eropa. Di masa lalu disebut Les Entrepots de Bercy, karena merupakan pelabuhan masuknya wine dari berbagai kawasan penghasil anggur di Prancis maupun daerah-daerah Eropa lainnya.
Ketika Les Entrepots de Bercy kehilangan fungsinya, gudang-gudang anggur yang sudah berusia 200 tahun lebih dibiarkan mangkrak. Beberapa tahun yang lalu, beberapa investor merevitalisasi kawasan itu, dan melestarikan bangunan dan kawasan di sana. Sekarang, beberapa wine lounges, restoran, dan kafe papan atas hadir di sana. Village Bercy menjadi tempat wine and dine para elite. Tempatnya yang tidak jauh dari Bercy Expo juga membuatnya tambah laris manis.
Contoh lain sebenarnya dapat dilihat di negara tetangga kita yang terdekat, Singapura. Di sana ada Fullerton Hotel yang klasik dan anggun, hasil ubahan dari gedung yang semula adalah kantor pos. Di sana juga ada ruas jalan Keong Siak yang dulunya kawasan bordil, dan sekarang direvitalisasi menjadi kawasan atraksi wisata.
Dan masih terlalu banyak contoh lain di dunia yang bisa kita tiru dan teladani.
Kita tunggu saja apakah Bank Indonesia, PT Keretapi Indonesia, dan instansi-instansi lain yang memiliki bangunan pusaka, akan mampu menampilkan karya terbaik mereka. Beberapa bulan yang lalu Stasiun Kota di Jakarta pernah menjadi ajang penyelenggaraan rave party yang seronok. Kenapa tidak? Stasiun Tanjungpriok yang sudah tidak berfungsi – tetapi memiliki arsitektur yang cantik – pastilah dapat direvitalisasi menjadi ruang publik yang bermartabat dan bermanfaat.

 

Начало формы

Конец формы

 

 



2016-09-17 390 Обсуждений (0)
Laporan wartawan Bondan Winarno 0.00 из 5.00 0 оценок









Обсуждение в статье: Laporan wartawan Bondan Winarno

Обсуждений еще не было, будьте первым... ↓↓↓

Отправить сообщение

Популярное:
Как построить свою речь (словесное оформление): При подготовке публичного выступления перед оратором возникает вопрос, как лучше словесно оформить свою...
Почему люди поддаются рекламе?: Только не надо искать ответы в качестве или количестве рекламы...



©2015-2020 megaobuchalka.ru Все материалы представленные на сайте исключительно с целью ознакомления читателями и не преследуют коммерческих целей или нарушение авторских прав. (390)

Почему 1285321 студент выбрали МегаОбучалку...

Система поиска информации

Мобильная версия сайта

Удобная навигация

Нет шокирующей рекламы



(0.006 сек.)